Tentang Saya
Data Diri
-
Nama : Muzakir
-
Tempat/Tanggal Lahir : Limo Suku, 26 Juni 2004
-
Jenis Kelamin : Laki-Laki
-
Status : Pelajar
-
Alamat : Jln. Ampuah No 16 Kampuang Lukok Jorong Limo Suku
-
Motto Hidup : Kudu Somongot
Riwayat Pendidikan
-
SD : SDN 03 Limo Suku SungaiPua
-
SMP : MTsS Diniyah Limo Jurai SungaiPua
-
SMA : MAK Diniyah Limo Jurai SungaiPua
Abstrak
Karya ilmiah ini disusun oleh Muzakir, NISN/NID 131213060017200445. Karya ilmiah ini berjudul Penafsiran Surah Al-Baqarah Ayat 222—223, di MAS Diniyah Limo Jurai, Sungai Pua, 2023, berisi 60 halaman.
Masalah yang dibahas dalam karya ilmiah ini adalah bagaimana penafsiran para mufassirin tentang Surah Al-Baqarah ayat 222—223?
Batasan masalah dalam karya ilmiah ini adalah Qawaidh Tafsir, Qawaidh Lughawiyah, dan Fawaid-Fawaid Ayat yang terdapat dalam Surah Al-Baqarah ayat 222—223.
Dalam proses penelitian, penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) . Jenis penelitian kepustakaan dengan dan membaca buku-buku (literatur) yang berkaitan dengan permasalahan untuk meletakkan landasan teori. Penelitian ini menggunakan metode tahlili . Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu, dengan mengumpulkan tafsir-tafsir yang berkaitan dengan masalah pembahasan, dan penulisan makalah ini dengan cara menelaah beberapa kitab tafsir yang berhubungan dengan pembahasan, diantaranya: Tafsir Al-Maraghi, Tafsir Al-Munir, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir An-Nuur, Tafsir Jalalain, Tafsir Shofwah At-Tafasir, Tafsir Al-Misbah, dan Tafsir Fathul Qadir
Hasil pembahasan yang dikemukakan dalam karya ilmiah ini, adalah penafsiran Surah Al-Baqarah ayat 222—223 membahas dua permasalahan yaitu, yang pertama mengenai larangan terhadap suami untuk menyetubuhi istri selama dia dalam keadaan haid sampai habis masa haid, dan apabila dia telah melakukan mandi wajib setelah habis masa haid tersebut, maka diperbolehkan bagi suami menyetubuhinya. Kedua, membahas tentang suatu kebolehan bagi suami untuk menyetubuhi istri dari arah mana saja yang mereka sukai, baik itu dari arah depan maupun belakang, sambil berlutut, tengkurap, ataupun sambil terlentang. Akan tetapi dengan syarat, itu harus dilakukan pada kemaluannya istri, bukan pada duburnya (anus).
Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Al-Quran secara bahasa adalah bacaan. Menurut Muhammad Ali As Shabuni, Al-Quran adalah kalam Allah SWT yang tiada tandingannya. Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW (penutup para nabi dan rasul), dengan perantara Malaikat Jibril dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir. Makna dari mutawatir adalah qiraat yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta dan sanadnya bersambung. Serta membaca dan mempelajarinya merupakan suatu ibadah, yang dimulai dari Surah Al-Fatihah dan ditutup dengan Surah An-Nas.
Al-Quran berfungsi sebagai undang-undang yang mengatur jalannya kehidupan manusia agar berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam segala urusan hendaknya dia berpedoman kepada Al-Quran. Oleh karena itu hukum-hukum yang ada dalam Al-Quran dibagi menjadi tiga bagian. Adapun hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Quran tersebut dibagi menjadi tiga macam, yaitu: hukum i’tiqadiyah, hukum akhlak, dan hukum amaliah. Hukum amaliah juga dibagi menjadi dua macam, yaitu: hukum ibadah dan hukum muamalah. Hukum ibadah adalah hukum yang membahas tentang shalat, puasa, zakat, haji, dan tidak lupa juga yaitu membahas pernikahan.
Nikah secara bahasa berarti mengumpulkan, atau sebuah pengibaratan akan sebuah hubungan intim dan akad sekaligus, yang di dalam syariat dikenal dengan akad nikah. Sedangkan secara istilah berarti sebuah akad yang mengandung pembolehan bersenang-senang dengan perempuan, dengan berhubungan intim, menyentuh, mencium, memeluk, dan sebagainya, jika perempuan tersebut bukan termasuk mahram baik dari segi nasab, sesusuan, dan keluarga. Adapun pengertian pernikahan secara umum diartikan dengan kata akad zawaj yaitu kepemilikan sesuatu melalui jalan yang disyari’atkan dalam agama. Sesungguhnya anjuran untuk menikah banyak dijelaskan di dalam Al-Qur’an, diantara firman Allah SWT tersebut adalah sebagai berikut :
النِّسَاۤءِ مِّنَ لَكُمْ طَابَ مَا فَانْكِحُوْا
Artinya: “maka nikahilah perempuan-perempuan yang baik bagimu.” (QS. An-Nisa: 3)
Dalam hadist Rasulullah SAW telah menjelaskan :
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya:“Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian yang telah mampu kebutuhan pernikahan maka menikahlah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga alat vital. Barang siapa yang belum mampu menikah maka hendaknya dia berpuasa, karena itu merupakan obat baginya.” (HR. Muslim)
Manusia diciptakan dengan nafsu dan akal yang merupakan salah satu dorongan naluri yang kuat dalam diri manusia untuk menikah dan dorongan nafsu syahwat. Akan tetapi syari’at Islam yang lurus tidak membiarkan satu pintu pun bagi setan, bahkan syari’at justru menghalangi geraknya agar peribadatan manusia terhindar dari cela. Sebagai laki-laki yang normal pasti ada dorongan nafsu syahwat untuk melakukan hubungan intim, namun perlu diingat bahwasanya untuk melakukan hubungan intim dengan istri tidak seluruh waktu boleh untuk menyalurkan hasratnya, seperti saat istri sedang mengalami masa haid. Memang tidak ada kejanggalan dari apa yang dilakukan oleh pasangan suami istri tersebut, karena merupakan hal yang wajar untuk melakukan hubungan intim. Namun, meskipun suami istri itu mempunyai kebebasan dalam melakukan hubungan intim, akan tetapi keduannya mempunyai rambu-rambu agama yang harus ditaati. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya, yaitu:
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوْا الْنِّسَافِي الْمَيْضِ وَلاَ تَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهِّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّا بِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
Artinya:”Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, itu adalah sesuatu yang kotor, karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah SWT kepadamu. Sungguh, Allah SWT menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
نِسَاۤؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ اَنّٰى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّكُمْ مُّلٰقُوْهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ
Artinya:”Istri-istri adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertaqwalah kepada Allah SWT dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman” (QS. Al-Baqarah: 223)
Pada kutipan ayat di atas menjelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan kepada suami agar menjahui istri mereka pada masa haid sampai dia kembali suci. Kemudian apabila dia telah suci maka dekatilah atau datangilah mereka tersebut karena sesungguhnya istri-istri tersebut adalah ladang (tempat untuk menanam benih keturunan) bagi suami. Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin membahas lebih lanjut tentang bagaimana tuntunan Allah SWT kepada suami pada saat istrinya sedang masa haid, kemudian bagaimana ketentuan menggauli istri dalam syariat Islam, dan dari dua ayat di atas terdapat kontroversi antara ayat pertama dengan ayat kedua. Inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam penafsiran Surah Al-Baqarah ayat 222—223.
Berdasarkan uraian sebelumnya maka penulis tertarik untuk mengangkat pembahasan karya ilmiah ini dengan judul “Penafsiran Surah Al-Baqarah Ayat 222—223”