Tentang Saya
Biodata
-
Nama Lengkap : Muhammad Zidhan Azzikri
-
Tempat Lahir : Surakarta
-
Tanggal Lahir : 27 Desember 2004
-
Jenis Kelamin : Laki-Laki
-
Moto Hidup : Apa Adanya
Daftar Riwayat Hidup
-
TK : Tunas Harapan
-
SD : SDN 11 Kapalo Koto
-
MTs.S : Diniyah V Jurai
-
MAS : Diniyah V Jurai
Abstrak
Karya Ilmiah ini disusun oleh MUHAMMAD ZIDHAN AZZIKRI, NID/NISN: 131213060017200444/0042878800 Makalah ini berjudul PENAFSIRAN SURAH AL BAQARAH AYAT 220—221, PONDOK PESANTREN DINIYAH LIMO JURAI, SUNGAI PUA, 2022, 49?hlm.
Masalah yang dibahas dalam karya tulis ini adalah tentang penafsiran surah al baqarah ayat 220—221.Dalam karya ilmiah ini penulis membahas tentang penafsiran surah al baqarah ayat 220—221.Adapun tujuan penulisan karya ilmiyah ini adalah untuk mengetahui penafsiran surah al baqarah ayat 220—221.Dalam proses penelitian, penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Jenis penelitian kepustakaan dengan mencari dan membaca buku-buku (literatur) yang berkaitan dengan permasalahan untuk meletakkan landasan teori yang telah ada.
Penelitian ini menggunakan metode tahlili. Langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, dengan cara menelaah beberapa kitab tafsir yang berhubungan dengan pembahasan. Penulis menggunakan beberapa tafsir, diantaranya:Tafsir Al-Muyassar, Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Jalalain, Tafsir Al-Quranul Majid,Tafsir As-sa’adi,Tafsir Al-Misbah, Tafsir Al-Azhar, Tafsir Al-Munir, Tafsir Ibnu Abbas, Tafsir Al-Maraghi.
Hasil dari pembahasan yang penulis kemukakan dalam karya ilmiah ini yaitu pada ayat 220 Allah SWT menyarankan kepada kita untuk hidup atau tinggal bersama anak yatim itu lebih baik dari pada kita menjauinya. Dan ketika kita tinggal bersama anak yatim itu, kita tidak boleh memakai harta-harta anak yatim untuk kepentingan sendiri.
Pada ayat 221 dijelaskan bahwa, Allah SWT melarang bagi laki-laki muslim menikah dengan perempuan musyrik. Dan sebaliknya,Allah SWT juga melarang bagi perempuan muslim menikah dengan laki-laki musyrik,walaupun mereka menarik hatimu.
Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan kitab suci dan pendoman bagi umat Islam,juga menjadi pemberi peringatan bagi alam semesta. Al-Qur’an juga salah satu mukjizat yang diturunkan kepada rasul-Nya melalui perantara malaikat Jibril dan sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam menjalankan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan Allah SWT kepada hamba-Nya, sehingga dengan petunjuk ini dapat mengarahkan manusia kejalan yang benar dan terhindar dari segala kesesatan yang nyata.
Allah SWT telah menjelaskan kepada kita bagaimana hubungan manusia kepada sesama manusia yang merupakan makhluk sosial tidak dapat hidup berdiri sendiri. Dalam hubungan sesama manusia, dibatasi oleh syariat yang terdiri dari hak dan kewajiban yang mana hak kepada sesama manusia salah satunya seperti menyantuni anak yatim, Sebagaimana Allah SWT berfirman:
فَذَٰلِكَ ٱلَّذِى يَدُعُّ ٱلْيَتِيم
Artinya: "Itulah orang yang menghardik anak yatim,"(QS Al-Ma’un : 2)
Berdasarkan ayat diatas Allah SWT memerintahkan orang yang beriman hendaknya memperbaiki nasib anak yatim agar tidak dimasukkan kedalam golongan orang-orang yang mendustakan agama. Banyak cara dapat dilakukan, salah satunya dengan memberi mereka makan, membantu biaya pendidikan, ataupun menjadikan mereka sebagai anak asuh.
Mengasuh anak yatim mendapatkan perhatian secara normatif dalamal-Qur’an.Jika ditela’ah ada23 ayat didalam al-Qur’an yang terdapat kata yatim. Ini berarti bahwa Islam mengharapkan umatnya untuk peduli kepada anak yatim, bahkan beberapa ayat menegaskan bahwa sikap umat islam terhadap anak yatim adalah tolok ukur kesempurnaan iman dan Islam.
Pada masa modern ini, masyarakat semakin sadar dan peduli terhadap nasib anak yatim. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya anak yatim yang diasuh dalam keluarga muslim dan banyak pula lembaga-lembaga penyantunan anak yatim atau panti asuhan. Salah satu ayat yang dimaksud adalah surah al-Baqarah ayat 220 :
فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ ۗ وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْيَتَٰمَىٰ ۖ قُلْ إِصْلَاحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ ۖ وَإِن تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَٰنُكُمْ ۚ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ ٱلْمُفْسِدَ مِنَ ٱلْمُصْلِحِ ۚ وَلَوْ شَآءَ ٱللَّهُ لَأَعْنَتَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: “ Tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah : “ mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu.Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. “ ( QS. al-Baqarah:220)
Berdasarkan surat diatas, Allah SWT menegaskan bahwa kewajiban umat Islam untuk mengurus anak yatim dengan sebaik-baiknya dan menjadikan mereka ibarat saudara sendiri. Orang yang tidak mengindahkan perintah Allah ini termasuk orang yang berbuat kerusakan dan akan mendatangkan kesulitan di dunia dan akhirat.
Manusia didalam al-Qur’an dijelaskan menggunakan kata yang berbeda-beda, salah satunya menggunakan kata an-naas yang menerangkan manusia sebagai makhluk sosial. Ciri-ciri manusia sebagai makhluk social, yaitu dalam kehidupannya manusia tersebut senantiasa membutuhkan manusia lain. Salah satunya bentuk saling membutuhkan tersebut ada dalam pernikahan. Secara sosiologis pernikahan merupakan bentuk kerjasama antara laki-laki dan perempuan dibawah suatu peraturan tertentu atau khusus dan sah serta memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu laki-laki adalah sebagai suami dan perempuan sebagai istri.
Pernikahan bukan hanya sebuah ikatan yang menyatukan dua jenis manusia yang berbeda dari segi jasmaninya saja, tetapi juga meliputi segala macam keperluan hidup dalam satu rumah tangga yang dibangun bersama. Pernikahan juga melahirkan hak dan kewajiban yang harus ditunaikan; hak dan kewajiban sebagai suami dan istri, dan juga sebagai orang tua. Dalam pandagan Islam, memilih pasangan hidup harus diutamakan alasan keagamaannya. Hal ini dapat dipahami mengingat pernikahan bukan hanya mengenai kesenangan atau kebutuhan duniawi, tetapi juga jalan untuk membina kehidupan yang sejahtera lahir batin dan nilai-nilai moral bagi keturunan.
Allah SWT berfirman:
وَلَا تَنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا۟ ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ يَدْعُونَ إِلَى ٱلنَّارِ ۖ وَٱللَّهُ يَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱلْجَنَّةِ وَٱلْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِۦ ۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan yang musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan jaganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sesungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah SWT mengajak ke surge dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayatnya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran” (QS. Al-Baqarah: 221).
Ayat di atas merupakan pengharaman dari Allah SWT kepada kaum muslimin untuk menikahi kaum musyrik dari kalangan para penyembah berhala. Dapat disimpulkan bahwa janganlah kalian menikahi perempuan-perempuan musyrik selama mereka masih berada dalam kemusyrikannya. Sayyid Quthb dalam tafsirnya menjelaskan bahwa generasi pertama Islam di Mekkah pada awalnya tidak pernah melakukan hubungan sosial secara total sebagaimana pemutusan akidah yang sudah tertanam di dalam jiwa kaum muslimin. Hal tersebut disebabkan penataan masyarakat membutuhkan waktu dan harus bertahap.
Sayyid Quthb berkata bahwa haramnya hokum laki-laki muslim menikah dengan perempuan musyrik, dan sebaliknya laki-laki musyrik haram menikah dengan perempuan muslimah. Keduanya tidak bertemu dalam akidah mengenai Allah dan kaidah hidupnya tidak ditegakkan atas manhaj Allah. Umar ibn al-Khattab berkata, “seorang muslim boleh menikahi perempuan Nasrani, tetapi laki-laki Nasrani tidak boleh menikahi perempuan muslimah.” Maimun bin Mahran menyebutkan bahwa Ibnu Umar membenci pernikahan dengan perempuan ahlul kitab. Ibnu Umar berkata, “Saya tidak melihat perbuatan syirik yang lebih besar daripada kamu mengatakan, Rabb-nya adalah Isa.”
Dapat disimpulkan bahwa menikahi perempuan muslimah ataupun perempuan yang mengerti dengan agama Islam, hidup kita akan dituntun ke jalan yang benar, dan kita tidak melakukan perbuatan yang dibenci oleh orang-orang terdahulu. Pernikahan beda agama sering menimbulkan masalah. Salah satu akibat pernikahan beda agama adalah anak yang lahir dari pernikahan tersebut tidak mendapatkan pendidikan moral yang benar, dapat terjadi kebingungan dalam diri anak; agama mana yang harus mereka ikuti karena orang tua memiliki agama berbeda. Masalah ini dapat memicu konflik yang berujung pada perceraian.
Memang tidak sedikit terjadinya pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang berbeda agama, terutama di kalangan selebritis. Hal tersebut dilakukan atas dasar kecintaan semata. Lebih ironis lagi, pada zaman sekarang nilai-nilai agama semakin dilupakan. Mereka tidak mengerti kalau pernikahan mereka tersebut batal hukumnya, bahkan pergaulan mereka selama berumah tangga dipandang sebagai pergaulan di luar nikah.
Pada ayat 220, Allah SWT berbicara mengenai anak yatim yang memunculkan beberapa pertanyaan: Apa maksud dari anak yatim? Apa tujuan dari mengadopsi anak yatim? Apa hukum dari menikahi anak yatim?
Setelah itu, pada ayat 221 Allah SWT juga berbicara tentang larangan menikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman, juga berbicara tentang larangan menikahi laki-laki musyrik sebelum mereka beriman, sehingga timbullah pertanyaan: Apa itu pernikahan? Apa hukum nikah beda agama? Kenapa dilarang menikahi perempuan atau laki-laki musyrik?
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik mengangkat permasalahan ini dalam bentuk karya ilmiah dengan judul "Penafsiran Al-Qur'an Surah Al-Baqarah Ayat 220—221."