Tentang Saya
Biodata
-
Nama Lengkap: Nabil Fakri Ali
-
Tempat Lahir: Bukittinggi
-
Tanggal Lahir: 27 Juli 2004
-
Jenis Kelamin: Laki-Laki
-
Moto Hidup: Menuju Akhirat
Riwayat Pendidikan
-
TK:
-
SD:
-
MTS:
-
MA:
Abstrak
Karya Ilmiah ini disusun oleh Nabil Fakri Ali, NID/NISN 131213060017190410/0037157406, Judul: Penafsiran Surah Al-Baqarah Ayat 224—227, Pondok Pesantren Diniyah Limo Jurai Sungaipua, 2023, 44 hal.
Masalah yang dibahas dalam karya ilmiah ini adalah bagaimana penafsiran para mufassirin tentang surah Al-Baqarah ayat 224—227. Batasan masalah dalam karya ilmiah ini adalah Qawaidh Tafsir. Qawaidh Lughawiyah dan Fawaid-Fawaid Ayat yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 224—227.
Dalam proses penelitian, penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Jenis penelitian kepustakaan dengan membaca buku-buku (literatur) yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam landasan teori. Penelitian ini menggunakan metode tahlili. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu dengan mengumpulkan tafsir-tafsir yang berkaitan dengan masalah pembahasan; penulisan makalah ini dengan cara menelaah beberapa kitab tafsir yang berhubungan dengan pembahasan, di antaranya: Tafsir Al-Maraghi, Tafsir As-Sa’di, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir an-nuur, Tafsir Jalalain, Tafsir shofwah at- tafaasir, Tafsir al-misbah, Tafsir Al-Munir, Tafsir Al-Muyassar, Tafsir Fathul Qadhir.
Hasil dari pembahasan yang penulis kemukakan dalam karya ilmiah ini yaitu pada ayat 224—225 Allah SWT melarang hamba-Nya bersumpah untuk meninggalkan kebajikan, menyambung silaturahmi, bertakwa, dan memperbaiki hubungan antara manusia menggunakan nama-Nya, dan kelak sumpah yang diucapkan tersebut akan dipertanggungjawabkan di akhirat, kecuali sumpah yang diucapkan tanpa kesengajaan. karena Allah SWT Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
Kemudian di ayat berikutnya yaitu 226—227 dijelaskan bahwa suami yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya, diberikan tenggang waktu selama 4 bulan untuk membuat keputusan tegas. Jika akhirnya suami memilih kembali kepada istri sebelum tenggang waktu menanti habis, yang berarti membatalkan (merusak) sumpahnya, maka Allah mengampuni dosa-dosa mereka. Sebab, keputusan kembali kepada istri dipandang sebagai perbuatan tobat kepada Allah. Adapun dosa membatalkan sumpah diampuni dengan member kaffarat. Sebaliknya jika setelah tenggang waktu, suami masih tidak ingin menggauli istrinya maka Allah mendengar sumpah dan talaknya.
Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang luar biasa, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan bahasa Arab melalui perantaraan pembawa wahyu, yaitu Malaikat Jibril yang sampai kepada kita dengan cara mutawatir; membacanya adalah ibadah, yang terkumpul di antara dua cover mushaf (awalan dan akhirannya), yang diawali dengan surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas.
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang menjadi sebuah petunjuk bagi manusia untuk meletakkan dasar-dasar prinsip dalam segala persoalan kehidupan. Al-Qur’an juga berfungsi sebagai pedoman hidup dan petunjuk bagi umat Islam serta menjamin kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun akhirat. Umat Islam menjadikan Al-Quran sebagai sumber hukum. Tugas manusia hanya mengambil hukum tersebut, atau bisa saja justru mengabaikannya. Kedekatan manusia dengan Al-Qur’an bisa dilihat dari interaksinya dengan Al-Qur’an. Banyak yang hanya membaca Al-Qur’an, namun tidak memahami aspek penting yang terkandung di dalamnya. Seseorang yang bisa memahami Al-Qur’an secara mendalam akan melihat banyak hal menarik dan baru disadari, baik berupa kemukjizatan hingga keunikan Al-Qur’an.
Ajaran Islam melalui hukum-hukum syari’atnya merupakan suatu upaya dalam membentuk kehidupan bermasyarakat yang Islami. Dalam permasalahan sumpah (اليمين), Islam tidaklah menganggap hal itu sebagai perkara yang reme dan dipermainkan semaunya saja. Islam sangat serius membahas sumpah dengan terperinci. Hal ini terdapat dalam nash Al-Qur’an, hadis, dan pendapat para ulama dalam kitab-kitab fikih. Fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, baik di kalangan masyarakat biasa maupun di kalangan pejabat pemerintah, bahwa pelanggaran terhadap sumpah itu sering terjadi. Anehnya, orang yang melakukan pelanggaran sumpah tersebut tidak menyadari kalau dia sudah melakukan suatu kesalahan besar.
Sumpah adalah menyatakan suatu niat dan menguatkannya dengan menyebut nama Allah SWT atau menyebut salah satu dari sifat-sifat-Nya, yang didahului dengan penyebutan kata sumpah, yaitu ba’, waw, dan ta’ yang berarti “demi”. Contohnya, seseorang bersumpah bahwa dia akan berpuasa; dia berkata: “Demi Allah, saya akan berpuasa hari ini”. Dengan ucapan demikian, berarti ia telah mengucapkan lafaz sumpah. Para ulama membagi sumpah itu menjadi tiga macam: pertama, laghwun; kedua, mun’aqidah; dan ketiga, ghamus.
Pertama, al-laghwu ialah sumpah yang tidak berkaitan (terkena) hukum. Kedua, al-Mun’aqidah ialah bahwa seseorang bersumpah mengenai sesuatu perkara (urusan); ia akan mengerjakannya pada masa yang akan datang atau tidak melakukannya (meninggalkannya), kemudian ia melanggar sumpah tersebut. Ketiga, Al-Ghamus ialah sumpah yang diucapkan oleh manusia dengan sengaja untuk berdusta. Dari tiga macam sumpah di atas, ulama sepakat bahwa pelanggaran terhadap sumpah Al-Laghwu tidak terkena hukum (tidak wajib kafarat/denda), sedangkan pelanggaran sumpah Al-Mun‘aqidah wajib kafarat, perbedaan pendapat terjadi pada sumpah palsu (Al-Ghamus) karena ada yang berpendapat bahwa sumpah ini wajib kafarat.
Ketentuan yang berhubungan dengan kafarat sumpah ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat 89, yaitu:
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللّٰهُ بِاللَّغْوِ فِيْٓ اَيْمَانِكُمْ وَلٰكِنْ يُّؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُّمُ الْاَيْمَانَۚ فَكَفَّارَتُهٓ اِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسٰكِيْنَ مِنْ اَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ اَهْلِيْكُمْ اَوْ كِسْوَتُهُمْ اَوْ تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ ۗفَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ ۗذٰلِكَ كَفَّارَةُ اَيْمَانِكُمْ اِذَا حَلَفْتُمْ ۗوَاحْفَظُوْٓا اَيْمَانَكُمْ ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِه لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْن
Artinya: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Barangsiapa tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-Nya).”
Ayat ini menjelaskan bahwa cara membayar kafarat sumpah adalah dengan memberi makan sepuluh orang miskin dengan makanan yang sama seperti yang dimakan keluarga, atau memberi pakaian, atau memerdekakan seorang budak. Jika tidak mampu maka diharuskan berpuasa tiga hari berturut-turut.
Berbicara tentang sumpah, selain dari macam macam sumpah yang telah penulis sebutkan sebelumnya, dalam Al Qur’an juga terdapat jenis lain dari sumpah, yang berkaitan dengan hubungan antara suami istri, yaitu ila’. Adapun pengertian ila’ secara etimologi berarti “sumpah”. Sedangkan menurut terminologi, ila’ adalah sumpah seorang suami untuk tidak berhubungan intim dengan istrinya secara mutlak, atau selama lebih dari empat bulan.
Sumpah ila’ sudah ada sejak zaman jahiliah. Pada masa itu, sumpah ila’ merupakan tradisi seorang suami yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dengan tujuan agar istrinya merasa terkatung-katung seperti seorang perempuan yang tidak mempunyai suami dan merasa tersiksa dengan keadaan demikian tersebut dengan tidak membatasi waktu dalam bersumpah untuk tidak menggauli istrinya. Seiring dengan perubahan dan kemajuan yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, terjadi pula perubahan pada ketentuan sumpah ila’ oleh risalahnya berupa wahyu diberi batasan tenggang waktu empat bulan. Hal tersebut agar hak-hak seorang istri dapat terlindungi.
Dasar hukum ila’ terdapat dalam Al-Quran, yaitu firman Allah SWT surah Al-Baqarah ayat 226:
لِلَّذِيْنَ يُؤْلُوْنَ مِنْ نِّسَاۤىِٕهِمْ تَرَبُّصُ اَرْبَعَةِ اَشْهُرٍۚ فَاِنْ فَاۤءُوْ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: Bagi para suami yang meng-ila’ istrinya, maka menunggu selama empat bulan, bila dia kembali maka sesungguhnya Allah SWT Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Bila dia ingin, menalaknya, maka sesungguhnya Allah swt Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
Para ulama sepakat kalau ada suami meninggalkan istrinya dalam batas lebih dari empat bulan, tidak juga disebut ila’ kecuali kalau dia bersumpah. Oleh karena itu, ada kaitannya dengan wajib kafarat dan istrinya tidak tertalak karena ditinggalkan itu.
Penulis melihat ila’ juga bisa berfungsi sebagai penekan angka perceraian, karena muara atau akhir dari sebuah keputusan setelah tempo waktu ila’ bukan perceraian. Bila tempo waktu berakhir, suami diberikan pilihan untuk meminta ampun kepada Allah; bila ingin kembali kepada istrinya, atau bila berketetapan hati untuk berpisah, menalak istrinya dengan cara yang baik.
Sumpah yang dibolehkan dalam Islam hanyalah sumpah dengan nama Allah. Oleh karena itu, sumpah dalam Islam merupakan perkara yang sangat serius. Pasalnya, ketika seorang muslim mengucapkan sumpah dari mulutnya, maka dia harus bisa mempertanggungjawabkan sumpahnya di hadapan Allah SWT.
Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis tertarik untuk menguraikan serta menjelaskan permasalahan dalam bentuk karya ilmiah dengan judul “Penafsiran Surah Al-Baqarah Ayat 224—227”.